Selasa, 06 Maret 2012
Menyimpang dari Jalan Awal
Menyimpang dari Jalan Awal
“Katakanlah: Wahai Tuhan Yang memiliki kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Kau kehendaki dan Kau cabut kekuasaan dari orang yang Kau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Kau kehendaki dan Kau hinakan orang yang Kau kehendaki. Di Tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imraan:26)
Saddam Hussein, Ferdinand Marcos dan Soeharto sama-sama memimpin negara lebih 20 tahun. Sama-sama di back-up Amerika. Sama-sama menggunakan simbol-simbol agama dalam mencengkramkam hegemoni tangan besinya. Sama-sama menyebabkan ulama dan para da’i dipenjara, disiksa hingga dibunuh. Sama-sama mengeruk kekayaan luar biasa. Sama-sama memiliki jutaan rakyat yang miskin dan kelaparan. Sama-sama ditumbangkan oleh campur tangan Amerika dan sama-sama kelihatan tua setelah lengser dari jabatannya. Wallahu a’lam, apakah ketiganya telah taubat atau tidak.
Bagi kita, ketiganya adalah cermin yang Allah Swt. tunjukkan kepada kita. Kita boleh terus melakukan pendakian hingga sampai puncak. Dia Yang Maha menentukan terhadap kita bisa sampai di puncak itu dan tidak. Kita yang memilih cara, entah cara itu berada dalam ridha-Nya atau tidak.
Sebagian tokoh Syarikat Islam tergoda mengadopsi Komunisme karena dipercaya akan menjadi manhaj yang mempercepat revolusi dan kesejahteraan rakyat. Maka muncullah SI Merah yang tokoh-tokohnya malah mendirikan PKI.
Semua kesesatan dan kehancuran di atas memiliki satu penyebab yaitu inkonsistensi terhadap niat awal. Melenceng dari jalan pertama.
Tidak salah, mungkin, bila melenceng dari jalan awal ini dikaitkan dengan semangat menuntut ilmu. Sebab, semangat keilmuan yang dimiliki sebagian orang telah beralih menjadi semangat komersialitas; ilmu dijadikan sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan duniawi. Sepertinya ada perubahan dalam menjalankan sebuah misi suci menuntut ilmu.
Menuntut ilmu adalah amal mulia. Kewajiban bagi setiap muslim. Dengan menuntut ilmu manusia bisa membedakan antara haq, batil, baik, buruk, dan lain sebagainya.
Alangkah naif bila seorang muslim tidak menyadari akan pentingnya mencari ilmu. Apalagi sampai tidak menuntut ilmu. Pada situasi ini, mungkin benar bila dikatakan bahwa pondasi Islam telah rapuh. Sebab generasi yang seharusnya dapat menjadi benteng ternyata berbalik profesi sebagai generasi plin-plan dan cendrung plagiat.
Namun, ketika proses menuntut ilmu sudah berjalan sepertinya masih ada kegamangan di dalamnya. Masih ada kerancuan yang harus dipertanyakan: tentang romantisme niat dengan amal. Antara semangat menuntut ilmu dengan semangat komersialitas.
Dari awal niat ketiga pemimpin itu pasti ingin menjadi pemimpin yang adil dan dapat membawa negeri yang dipimpinnya menjadi negeri yang makmur. Namun ada dua sifat yang telah dilupakan ketika proses kepemimpinan itu berlangsung, yaitu rendah hati dan perasaan butuh yang tinggi akan hidayah Allah Swt. Padahal, dua sifat ini lebih esensial dari hanya sekadar niat. Dua sifat tadi adalah ajang pembuktian akan istiqamah dan tidaknya seorang hamba. Niat bisa lurus, namun ketika menjalani niat -boleh jadi- jalan akan bengkok.
Pada titik ini semangat keilmuan yang beralih menjadi semangat komersialitas tidak ada bedanya dengan semangat patriot (yang dimiliki ketiga pemimpin di atas) yang berbalik menjadi semangat mengeruk keuntungan pribadi dengan mengorbankan jutaan rakyat tak berdosa.
Ayat di atas memberi peringatan bahwa terlalu berbangga diri dengan kecerdasan yang kita miliki, pongah karena fasilitas yang telah memadai adalah ambang dari inkonsistensi terhadap niat. Padahal, di sisi lain ada yang masih begitu penting, yaitu rasa butuh terhadap hidayah Allah Swt. dan selalu rendah hati. Hanya Allah Swt. yang memuliakan dan menghinakan orang Dia kehendaki.
Kecerdasan dan fasilitas justru sangat berpotensi untuk menjadi pangkal ketersesatan dan kepongahan, bila rasa rendah hati dan rasa butuh hidayah Allah Swt. telah mulai menipis. Pada situasi inilah mata kita akan menjadi kabur. Tidak bisa lagi mengatakan dengan tegas antara cara yang ada dalam ridha-Nya dengan cara yang ada dalam murka-Nya.
Dengan kata lain, niat penting untuk kita tata. Namun, lebih penting dari niat yang telah tertata adalah dua sifat di atas. Mengabaikan dua sifat di atas berarti mengantarkan diri pada jurang ketersesatan.
Dus, semangat keilmuan kita harus ditata ulang. Harus ‘steril’ dari semangat komersialitas yang mengantarkan pada kesesatan. Karena bila tidak, amal-amal yang kita kerjakan saat menuntut ilmu tak lebih dari sekadar pengejaran terhadap hal-hal duniawi. Padahal, kita tahu hal-hal duniawi tak ‘kan berkutik bila tanpa didasari oleh hal-hal ukhrawi sebagai pondasi.
Bila niat menuntut ilmu kita masih tercampurkan semangat mengeruk keuntungan, dengan arti, niat kita menuntut ilmu demi hal-hal yang berbau duniawi, apa bedanya kita dengan pemimpin-pemimpin tiran di atas dan masih pantaskah kita melafadzkan li i’lai kalimatillah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar