Laman

Minggu, 11 Maret 2012

menangis

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta di segala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bersholat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu", Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in".
Banyak diantara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung. "Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar, " berkata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' disitu titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakikat alam, dimana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakikat itu".
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang mulut para santri. "Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Alloh… iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak kita hanya boleh mengucapkan kehidupan. Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan".
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh...," geremang mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na'budu. KepadaMu aku menyembah. Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah. Ketika sampai pada kalimat na'budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh. Suatu maqom yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah Alloh dimana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam sholat mestilah memiliki akar dan pijakan dimana kita kaum muslim telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan social dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh. Maka anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapan kata-kata itu?"
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang para santri.
"Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Alloh".
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh...," geremang mulut para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".



" M e n a n g i s "
Emha Ainun Nadjib (1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar