Selasa, 06 Maret 2012
Intelektualisme Islam Indonesia, Hanya Konsumen?
Intelektualisme Islam Indonesia, Hanya Konsumen?
Oleh Azyumardi Azra
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam orasi peluncuran Ensiklopedia Islam untuk Pelajar (Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2001) pada awal September lalu menyatakan, bangsa Indonesia-tegasnya, umat Islam--baru menjadi konsumen, belum produsen.
Menurut Cak Nur, kehadiran Islam yang relatif baru di Indonesia dibandingkan negara lain, ditambah dengan lemahnya tradisi membaca, telah mengakibatkan bangsa ini dalam soal tradisi dan budaya, baru menjadi konsumen, belum produsen. Akibat lebih lanjut dari keadaan itu, intellectual content pada bangsa ini amat rendah dan jarang bisa menghasilkan karya bermutu ( Kompas , 3/9).
Pernyataan Cak Nur ini bukanlah baru. Pernyataan yang sama atau senada telah sering dikemukakan Cak Nur dalam berbagai kesempatan. Lazimnya, Cak Nur mengungkapkan pernyataan atau argumen itu secara umum saja, kurang memberikan bukti-bukti yang meyakinkan untuk mendukung pernyataannya. Mengingat pentingnya substansi yang tercakup dalam masalah ini, ada perlunya assessment kritis terhadap argumen Cak Nur tersebut.
Pertama, sweeping generalization yang dilakukan Cak Nur secara metodologis terasa kurang pas, karena bagi peneliti yang cermat, sejarah intelektualisme Islam Indonesia sebenarnya sangat kompleks. Karena itulah, sejarawan terkemuka Taufik Abdullah, misalnya, melihat sejarah dan dinamika Islam di kawasan ini dalam beberapa gelombang; setiap gelombang memiliki karakter intelektualismenya yang relatif distingtif.
Secara ringkas, teori Taufik Abdullah tentang gelombang-gelombang dinamika sosial dan intelektual itu terdiri dari; pertama, gelombang penyebaran awal Islam di Nusantara ketika Islam telah "lulus ujian" menghadapi pemikiran Persia, Hellenisme, India, dan lain-lain. Gelombang ini disebut Taufik Abdullah sebagai "dunia fana yang kosmopolitan".
Kedua, ketika Islam makin menyebar dengan membawa pemikiran ortodoks sehingga menghasilkan apa yang disebutnya sebagai "Islamisasi realitas". Ketiga, gelombang akselerasi ortodoksi, khususnya melalui "proses ortodoksi fikih". Keempat, gelombang modernisme dengan intelektualisme bercorak politik dan pan-Islamis; dan kelima, gelombang neo-modernisme kontemporer.
Saya sendiri, sebagai peneliti sejarah sosial dan intelektualisme Islam Indonesia, khususnya pada periode awal dan masa kolonialisme Belanda, melihat bahwa para pemikir Islam tidak semata-mata menjadi konsumen, tetapi produsen yang kreatif. Periode sejak akhir abad ke-16 sampai akhir abad ke-19, bahkan memunculkan tonggak-tonggak intelektualisme yang cemerlang melalui karya-karya monumental. Sayang, karya-karya ini belum dikaji secara menyeluruh dan cermat.
Tetapi, setidaknya dengan menyebut beberapa nama saja, orang bisa melihat "puncak-puncak intelektualisme" Islam di Indonesia. Abad ke-17, misalnya, kita mengenal dua "gelombang" intelektualisme; gelombang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan corak "wahdat al-wujud" yang kental.
Berbagai kajian tentang kedua ulama ini sepakat menyimpulkan kebesaran mereka. Meski Hamzah Fansuri khususnya sangat dipengaruhi Ibn 'Arabi, tetapi seperti disimpulkan Brakel (1969), Winstedt (1923), Naquib Al-Attas (1970) dan Bukhari Lubis (1993), Hamzah adalah penyair sufi yang tidak tertandingi dalam orisinalitasnya. Al-Attas menyimpulkan, " None exceeded him in poetry, whether it be in terms of literary output or in terms of intellectual content ."
Gelombang kedua intelektualisme Islam abad ke-17 diwakili tokoh-tokoh ulama pemikir yang merupakan sufi dan ahli fikih sekaligus, seperti Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari. Selain menghasilkan banyak karya dalam bidang tasawuf, Al-Raniri juga menghasilkan karya monumental fikih ibadah pertama dalam bahasa Melayu, al-Sirath al-Mustaqim .
Sedangkan Abdurrauf menghasilkan fiqh mu'amalah pertama dalam bahasa Melayu, Mir'at al-Thullab ; tafsir 30 juz pertama dalam bahasa Melayu, Tarjuman al-Mustafid . Karya-karya yang mewakili ortodoksi Islam ini beredar dalam waktu yang lama, sehingga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektual-sosial Islam di Nusantara.
Penting dikemukakan, Abdurrauf juga menghasilkan karya-karya sufistik; salah satunya adalah Daqa'iq al-Huruf yang merupakan penjelasan sufistik tentang simbolisme huruf dan angka. Menurut Ann Marie Schimmel, otoritas terkemuka dalam kajian sufisme, Abdurrauf telah berhasil menyajikan eksposisi dan eksplanasi sufisme yang amat brilian, jenius, dan otentik.
Gelombang intelektualisme ini berlanjut pada abad ke-18 dan ke-19, yang memunculkan sejumlah pemikir-ulama seperti Abdusshamad al-Palimbani, M. Arsyad al-Banjari, M. Nafis al-Banjari, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifai Kalisalak, M. Mahfuzh al-Termasi, M. Saleh Umar Darat as-Samarani (Semarang), Ahmad Khatib al-Sambasi (Sambas, Kalbar), Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Hasan Mustafa, dan banyak lagi. Mereka menghasilkan karya-karya intelektual yang sangat bernilai dan menunggu kajian dan apresiasi sepatutnya.
Namun, untuk sekadar contoh, Abdusshamad al-Palimbani, misalnya, menurut sumber-sumber Arab disebut sebagai penafsir paling otoritatif dan kreatif tentang tasawuf al-Ghazali. Mahfuzh al-Termasi (dari Termas, Jawa Timur), yang dikenal di Indonesia melalui karyanya dalam bidang hadis, Manhaj Dzawin-Nazhar, lagi-lagi menurut sumber-sumber Timur Tengah, adalah "ulama paling bertanggung jawab membangkitkan kembali ilmu dan tradisi dirayah hadits , kritisisme terhadap hadis, di Hijaz, setelah lama cenderung didominasi hanya oleh tradisi "periwayatan" (riwayat hadis).
Berbagai karya para pemikir dan ulama di atas membuktikan, mereka bukan sekadar "konsumen" pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah. Mereka telah menjadi "produsen"; bukan sekadar penyalin, tetapi secara kreatif melakukan reinterpretasi, reeksposisi, reeksplanasi, dan kontekstualisasi, sehingga menjadi lebih bermakna bagi lingkungan masyarakat muslim Nusantara.
Memang, ujung-ujungnya masih banyak yang belum kita ketahui dan pahami tentang tradisi intelektualisme Islam Indonesia. Karena itu, masih banyak pula kajian yang mesti dilakukan, sehingga apresiasi selayaknya dapat kita berikan.
Penulis adalah Guru Besar dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tulisan ini dikutip dari Harian Umum Koran Tempo, edisi, 11 September 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar