Laman

Selasa, 06 Maret 2012

Banjir Idola, Kering Teladan

Banjir Idola, Kering Teladan Setelah AFI, Indonesian Idol dan KDI, program sejenis pun bermunculan. Tak hanya di bidang tarik suara, bisnis ini juga merambah ke dunia modeling dan akting. Anak-anak pun “digarap”, misal lewat acara AFI Junior dan Bintang Cilik. Demam “acara mencetak idola” itu tak sekadar menyedot perhatian remaja, tapi juga orangtua. Walhasil, semuanya rame-rame memelototi sajian yang membuat mereka mengidolakan bintang-bintang buatan televisi. Sebagai bukti dukungan, mereka mengirim SMS (Short Service Message) ke masing-masing idola. Hasilnya, sekitar 5 juta SMS yang dikirim untuk AFI 1 dan 8 jutaan untuk AFI II. Yang untung, siapa lagi kalau bukan perusahaan telepon seluler dan mitra usahanya. Bukan hanya uang yang melayang via SMS, tapi juga impian pada sosok bintang dadakan diidolakan. Ada sebuah mentalitas yang tengah dibentuk di sana, ketika pemirsa dipaksa menerawang ke alam fantasi bersama sang idola. Jangan heran jika seorang ABG, panggilan akrab remaja muda belia, yang coba bunuh diri. Pasalnya sepele. Hobinya nonton AFI dihalangi sang kakak yang ingin nonton acara lain. Bayangkan saja, jutaan pemirsa rela duduk serius di rumah menonton tayangan yang membiuskan itu. Yang melihat secara langsung, tua muda dan bocah cilik, histeris dan bergoyang dan bernyanyi. Ketika proses eliminasi berlangsung, air mata pun meleleh di mana-mana. Masyarakat kita memang haus idola. Sosok yang bisa dibanggakan dalam banyak hal. Namun kehausan itu justru disalahgunakan. Aspek-aspek fisik seperti keren, gagah, atau cantik amat ditonjolkan. Penonton dibuat terpesona dan rela mengirim SMS sebanyak-banyaknya, hanya agar idolanya menang. Barangkali bagi kita hal ini memprihatinkan. Tapi bagi banyak orang biasa saja. Yang jelas, besok kita tahu-tahu sudah kebanjiran idola, yang sayangnya, terpilih bukan karena kualitas kepribadian atau keteladanan. Tapi hanya karena ia mendapatkan respon via SMS paling banyak. Di sisi lain, sosok-sosok yang menampilkan keteladanan begitu langka. Figur-figur tertentu yang seharusnya menjadi teladan, nyatanya lebih tampak sebagai selebritis. Lebih menjadi tontonan di panggung daripada tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kini saatnya kita mengembalikan kesadaran kita tentang hakikat idola dan teladan. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Orang yang tak patut diteladani, pasti tak layak dijadikan idola. Kita punya Rasulullah saw yang menjadi teladan sepanjang zaman. Bukan hanya umat Islam yang mengidolakannya. Banyak cendekiawan yang meskipun tidak memeluk Islam menyanjung Muhammad saw laiknya idola. Michael H Hart, seorang penulis Barat, bahkan menempatkan Rasul saw sebagai sosok yang paling mempengaruhi peradaban dunia. Ada juga para sahabat Rasul ridhwanullahi alaihim yang sepak terjangnya terekam indah dalam sirah. Sayangnya, buku-buku sirah yang banyak memuat contoh hidup indah nan berkualitas dari Rasulullah saw dan para sahabat tak begitu diminati. Ulama yang merupakan pewaris para Nabi tak begitu laris diikuti. Pertanyaannya kemudian, mau dibawa ke mana umat ini? Siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib umat yang, sadar atau tidak, perlahan makin terperosok ke jurang kehancuran. Kenapa kita lebih suka mencetak idola daripada mencetak keteladanan? Di hadapan penulis, sebuah buku berjudul Islam di Tengah Kedangkalan Pemeluk dan Kelemahan Ulamanya, karya Abdul Qadir Audah, tokoh gerakan Islam asal Mesir, seakan membenarkan realita yang tengah kita rasakan hari-hari ini. Tugas dan tanggung jawab kita sebagai Muslim, khususnya para dai, untuk lebih serius lagi mencermati fenomena di atas. Selanjutnya, merancang aksi, mencetak kader-kader yang benar-benar bisa jadi guru yang bisa “digugu dan ditiru”. Sebuah pekerjaan yang memerlukan proses panjang dan kesabaran, memang. Tapi yang jelas, dibutuhkan langkah-langkah cepat dan segera untuk menyelamatkan umat dari salah memilih figur. Hasil pekerjaan di atas memang tak bisa dinikmati dalam waktu dekat. Menghadirkan sosok-sosok panutan jauh lebih sulit. Seperti halnya merusak jauh lebih mudah ketimbang membangun. Melahirkan figur teladan lebih banyak tantangan dan kendalanya. Kondisi ini pulalah yang hendaknya makin mendorong kesungguhan dan keseriusan dalam menggarap proyek-proyek keumatan, yang salah satunya adalah mencetak sosok-sosok teladan. Analoginya sederhana. Jika para pengusung kemungkaran sangat serius melakoni pekerjaannya, lantas mengapa kita yang bekerja pada proyek kebaikan begitu malas, angot-angotan dan asal-asalan. Padahal, makin giat musuh umat menebar maksiat, mestinya kita makin giat menebar makruf secara konkret di tengah masyarakat. Sudahlah. Mulai sekarang, mari intensifkan kembali pembinaan terhadap bocah-bocah dan ABG. Mereka yang ada di sekolah, di rumah dan di sekitar kita. Mereka yang pendidikannya terlantar, baik oleh kemiskinan ataupun oleh orangtua mereka sendiri akibat kesibukan yang melalaikan dari tanggungjawab. Perhatikan pula korban penggusuran yang jadi sasaran empuk pemurtadan. Jika ancaman ini tidak kita sadari, dan celakanya lagi terus berlangsung, tidak usah menunggu puluhan tahun untuk menyaksikan bangsa Indonesia yang kropos. Ikuti saja tayangan TV. Proses itu, setiap detik tengah berlangsung. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah…” (QS an-Nisa’: 9). Banjir idola yang kering keteladanan membuat generasi muda kita kian lemah: lemah iman, lemah hati, lemah akhlak, lemah kemauan dan lemah kreativitas. Hasilnya lihat saja. Banyak bocah dan remaja kita yang ingin cepat terkenal dan jadi idola, meski untuk itu rambu-rambu akhlak pun ditabrak! M.U. Salman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar